Searching...
Minggu, 26 Januari 2014

ASSERA (Ajajiang na Amateang)

06.22

karya : Pruce D Yanto 
ASSERA

_terinspirasi dari mitos To Balo,
Dimana masyarakat To Balo tak pernah berjumlah lebih dari 9 orang
Pruce
Tanpa Pemanis Buatan
100% Halal
2011



SATU

l anaro kampongnge Gattareng sibawaa Bulo-bulo,
tennatuoi api,
tenna engkalinga sadda palunggng,
tenna sabbi oni manu,
tenna bokkai asu.
Tau taummu,
tana tanamu,
mana mana'mu,
nasaba Lamuru mabelai, Tanete makawei,
narekko maddarai tauwe, marakkoi darana nappa lettu ri Lamuru,
narekko ri Tanete "engka muatu salo lawai, naiakiya salo ri luppe-luppekuamuatu”

Sinrilik
Menceritakan asal muasal Masyarakat ini, kejadian yang terjadi sehingga kutukan 9 ada pada masyarakatnya. Adalah Rakdak, salah seorang dari sembilan keturunan tersebut…

SEBUAH KURSI BERADA DI ANTARA DUA PINTU DEPAN DAN BELAKANG DALAM SATU GARIS. JARU DUDUK DI ATAS KURSI MENATAP, BERGERAK MEMBUKA PINTU. RAKDAK MASUK

Rakdak : Ambo masih hidup?
Jaru : Sementara sakit.
Rakdak : Hidup sambil sakit.
Jaru : Hidup menuju sakit, sakit menuju ajal.
Rakdak : Sakit apa?
Jaru : Untuk hari ini kurasakan Lasa Ulu.
Rakdak : Penyakit serius?
Jaru : Letaknya dekat otak, menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian.
Rakdak : Kenapa memilih otak untuk hari ini, bukan hati?
Jaru : Bosan. Hati selalu menuntut hati-hati. Lama sembuhnya dan tak berujung pada kematian.
Rakdak : Setidaknya mengurangi kemungkinan berpisah.
Jaru : Relatif.
Rakdak : Relatif yang menjanjikan.
Jaru : Menjanjikan persoalan yang tak abadi maksudmu.
Rakdak : Ambo mau saya panggilkan Sandro?
Jaru : Tidak usah. Aku hanya mau diam di sini menuggu kelahiran.
Rakdak : Kelahiran siapa?
Jaru : Salah satu di antara kita.
Rakdak : Nuru isteriku belum waktunya Ambo.
Jaru : Orang lain mungkin.
Rakdak : Ambo selalu memastikan sesuatu yang memungkinkan.
Jaru : Persoalan jumlah.
Rakdak : Jumlah?
Jaru : Hidup ini penuh dengan perhitungan, mudah saja cuma menggunakan sedikit teori penjumlahan dan penambahan. Selalu dinamis.
Rakdak : Semoga saja dinamis itu tak ditumis, biar aromanya tak melukai perasaanku.
Jaru : Jangan menyulut apimu terlalu besar supaya matang tepat waktu.
Rakdak : Aku pergi memanggil Sandro sekarang.
Jaru : Untuk apa?
Rakdak : Untuk mengobati Ambo.
Jaru : Apa aku terlihat mau sembuh?
Rakdak : Jangan terlalu keras kepala, apa Ambo mau mati?
Jaru : Sudah siap.
Rakdak : Nanti sakitnya bertambah parah.
Jaru : Persoalan sakit, baik sakit yang nampak maupun sakit yang kasat mata. Seberapa banyak pengetahuanmu untuk mengatakan separah atau tidak nantinya sakitku ini?
Rakdak : Sudah alami penyakit tak diobati malah akan semakin parah.
Jaru : Maka biarkanlah sakitku ini tuk alami, sakit juga tak perlu diganggupun akan sembuh, tak usah memaksakan sesuatu.
Rakdak : Aku pergi sekarang.
Jaru : Yang sakit itu sebenarnya bukan Ambo, tapi kamu. Terlalu banyak keinginan.
Rakdak : Kehidupan selalu melahirkan keinginan.
Jaru : Keinginan selalu dilumuri nafsu, hidup dengan tubuh yang selalu dahaga.
Rakdak : Keinginanku baik.
Jaru : Kita selalu lebih jatuh cinta terhadap keinginan dibanding dengan yang lainnya. Tak mutlak yang baik itu akan baik juga untukmu.
Diam dulu..
Rakdak : Aku diam
Jaru : Aku mencoba menikmati sakit ini. Nikmat sekali, otak sakit menimpa pikiran, pikiran jauh dari keinginan semu. Kesemuan yang selalu tak berujung. Tak mau mencoba?
Rakdak : Tidak.
Jaru : Waku selalu cacat untuk menghasilkan kesehatan. Sekali-kalilah merasakan sakit, biar hidupmu tak monoton terus.
Rakdak : Ambo menyuruhku sakit? sama saja dengan mengguruiku untuk mencandai kehidupan
Jaru : Tentunya akan lebih luwes dengan merasakan sakit.
Rakdak : Iya, alur hidup pastinya akan menuju kesakitan nantinya. Tapi tidak dalam waktu dekat ini.
Jaru : Maka diamlah di sini tak usah kemana-mana.
Rakdak : Sebetah itu kah Ambo merasakan sakit. Kalau kenapa-kenapa bagaimana?
Jaru : Kalau kenapa-kenapa denganku, bagaimana?
Rakdak : Aku sedih.
Jaru : Kenapa?
Rakdak : Aku menyayangi Ambo.
Jaru : Aku juga menyayangimu.
Rakdak : Jadi kalau terjadi kenapa-kenapa denganku Ambo sedih?
Jaru : Tidak.
Rakdak : Rasa sayang yang menyedihkan.
Jaru : Justru rasa sayangmu yang menyedihkan.
Rakdak : Mana mungkin ungkapan sayang akan terarah jika orang yang disayangi mengalami bencana.
Jaru : Setelah orang yang kamu sayangi itu mengalami bencana, apakah kamu sedih?
Rakdak : Iya.
Jaru : Rasa sayang yang menimbulkan kesedihan bukan? Takaran, anakku. Jangan selalu melebih-lebihkan sesuatu.
Rakdak : Jadi, maksudnya aku harus di sini, tanpa melakukan apapun, diam, tenang sambil menyaksikan kehidupan Ambo, yang sedikit yang demi sedikit akan dicuri oleh waktu?
Jaru : Iya.
Rakdak : Ambo selalu saja seperti ini, bukan main keras kepalanya. Kalau terus-terusan sakit itu dipelihara…
Jaru : Aku jadi almahrum. Luar bisa bukan, gelar yang otodidak, diraih dengan alami.
Rakdak : Selalu saja, selalu dan terus-terusan memikirkan diri sendiri. Apakah Ambo tidak memikirkan bagaimana sedihnya anakmu ini kelak ketika Ambo tiada?
Jaru : Kehidupan itu berlangsung tiap detiknya, semakin lama nantinya pun kita akan semakin dekat dengan yang namanya kematian. Segala kemungkinannya kita takkan bisa menebak, apapun itu Ambomu ini sudah rela menghadapinya. Apakah nantinya keadaan yang membahagiakan ataukah malah akan melarutkan dalam sebuah kedukaan.
Rakdak : Apakah memang Ambo sudah rela untuk meninggalkan aku?
Jaru : Tubuh dan jiwa anakku. Aku ingin jiwa ini mencapai kebenaran, bebas dari penglihatan, pendengaran, suka maupun duka, bebas dari segala keinginan. Mungkin saja hal tersebut segera terjadi. Tulus dan ikhlas sajalah.
Rakdak : Sekali lagi kehilangan orang yang dikasihi? Naif jika aku tulus dan ikhlas, bagaimanapun juga kehidupanku tak akan sebahagia dengan melepaskan segala kenangan dan cinta kasih yang selama ini telah akrab denganku. Itu sama halnya dengan melepaskan sebahagian kehidupan dari sisiku.
Jaru : Kamu terlalu memberi asupan yang berlebihan kepada tubuhmu itu.
Rakdak : Iya, aku menyalahkan tubuh ini, kenapa harus ada kesedihan di raut parasnya jika senyuman saja sudah terlalu mahal di garis keturunan kita.
Jaru : Jangan mengungkit garis keturunan!!!
Tubuh adalah segala sumber keinginan, semakin kau meladeninya semakin tersiksa jiwamu. Hal yang seperti itu pastinya akan terjadi. Meninggalkan dan ditinggalkan adalah sebuah kewajaran yang harus.
Rakdak : Tidak wajar untuk kita, sebagai keturunan yang terkutuk.
Jaru : Apakah telinga sudah tidak berfungsi di tubuhmu itu Rakdak?!
Jangan menyamarkan takdir dengan mengatasnamakan keturunan!!!, Itu sama halnya kamu menolak menjadi anakku. Identifikasi sebuah kedurhakaan.
Rakdak : Anakmu ini tak bermaksud seperti itu, sama sekali aku tak pernah berniat memiliki wawasan yang durhaka.
Jaru : Kalau terlalu berat bagimu, biar aku yang memilih menjadi Bapak yang Durhaka.
Rakdak : Sudahlah Ambo, aku yakin, masih ada jalan untuk kita tetap berkumpul seperti ini menikmati suka tanpa duka.
Jaru : Suka dan duka adalah sesuatu yang menipu sekaligus menghantui.
Rakdak : Aku manusia Ambo, masih memiliki Nurani.
Jaru : Semoga nurani tak termakan habis oleh nalurimu.
Rakdak : Keinginanku tak muluk-muluk Ambo, Aku hanya tak ingin kamu mati. Tidak lebih.
Jaru : Tertawa.
Kamu ingin aku hidup tanpa mengalami kematian, sadarlah itu bukan keinginan yang sederhana anakku.
Kematian dan kehidupan adalah sepasang keadaan yang mengharukan, jangan terlalu menguras tenagamu untuk sesuatu yang wajar.
Rakdak : Maaf jika aku tak befikir tak wajar.
Jaru : Sewajar-wajarnya keadaan adalah sangat wajar dengan gumulan waktu, tanpa ada tuntutan. Kecemasanmu berlebihan.
Rakdak : Kecemasan saya sebenarnya sangatlah beralasan Ambo, entah mengapa tiap malamnya saya selalu mendapatkan mimpi yang sama.
Jaru : Masih dengan mimpi tentang Ajajiang dan Amateang ?
Rakdak : Iya Ambo…
Jaru : Apa yang kau cemaskan dari mimpi itu?
Rakdak : Apakah ini bukan sebuah pertanda?
Jaru : Mengapa kau bertanya seperti itu?
Rakdak : Tetap seperti dengan hari-hari kemarin…, apa yang sebenarnya Ambo sembunyikan?
Jaru : Rakdak… Kecurigaanmu sangat tidak beralasan. Kau mengharapkan jawaban dariku atas mimpi-mimpimu. Kalaupun kamu mencoba membicarakan tentang Ajajiang dan Amateang, Ambo kira kelahiran dan kematian itu adalah sesuatu yang wajar.
Rakdak : Berkali-kali selalu tentang kewajaran. Wajar dalam sebuah kebetulan yang menjadi takdir yang tragis? Takdir yang sebenarnya sudah bisa kita ungkap.
Jaru : Jangan memandangnya dengan penuh kesombongan seperti itu.
Rakdak : Ketika Aku sudah bisa meyakinkan diri sendiri tentang takdir kita ini, Aku yakin diantara kita takkan ada kata-kata perpisahan. Kematian yang seperti dialami Indo tak akan menghampiri kita lagi.
Jaru : Ibumu digariskan di keadaan waktu hanya sampai kamu dilahirkan. Meratapinya juga takkan bisa membuat dia kembali. Yakin saja segala apa yang ada akan abadi dipikiran kita, meski hanya berbentuk fana di realita kehidupan.
Rakdak : Apanya yang abadi, ketika pikiran sudah berpisah dengan jasadnya. Apakah saya bisa meraba Ambo kelak ketika sudah tak ada dalam raga?
Jaru : Lihat!
Rakdak : Mana?
Jaru : Apa itu ?
Rakdak : Tak ada apa-apa.
Jaru : Perhatikan baik‑baik ! Kau tak melihat sesuatu di sana?
Rakdak : Tidak, saya tidak melihat apa‑apa, hanya sebuah kekosangan. Ambo melihat apa ?
Jaru : Perhatikan dengan teliti. Sekarang dia bergerak ke kanan. Dia sepertinya, enggan ke sini, menunggu waktu yang tepat!
Rakdak : Tapi saya tak melihat apa‑apa.
Jaru : Dia menatapku dengan tatapan yang sangat hangat, lihat… sekarang dia menatapmu.
Rakdak : Mana? Tidak ada apa‑apa ! saya tidak melihat apa-apa.
Jaru : Tatapannya kepadamu begitu aneh.
Kamu sudah yakin, kalau aku akan mendahuluimu di kematian??
Burung-burung melingkar di kubah rumah kita, matanya tajam tak bersuara, duka cita tidak semua obatnya canda, doa doa apa saja yang menjadikan sakit punya harapan doa doa apa saja yang meninabobokan ketakutan ..
(pause)
(Fade Out)




DUA
Sinrilik
Menceritakan kehidupan pernikahan Rakdak dan Nuru yang masih dalam satu garis keturunan.

SEBUAH KURSI BERADA DI ANTARA DUA PINTU DEPAN DAN BELAKANG DALAM SATU GARIS. RAKDAK DUDUK DI ATAS KURSI MENATAP, BERGERAK MEMASTIKAN PINTU TERTUTUP. NURU MASUK

Nuru : Daeng masih hidup?
Rakdak : Takkan meninggalkanmu Andi. Bagaimana keadaanmu hari ini?
Nuru : Baik.
Rakdak : Bayi kita
Nuru : Juga Baik.
Rakdak : Baguslah.
Nuru : Apa itu baik?
Rakdak : Tentu.
Nuru : Kenapa?
Rakdak : Aku menyayangimu.
Nuru : Seperti tak memiliki usia saja.
Rakdak : Sudah kupirkan.
Nuru : Tak menanyakan yang lain seperti biasa?
Rakdak : Tak pernah ke luar hari ini?
Nuru : Tidak!!
(Hening)
Rakdak : Masih ingat waktu kita di Romang?
Nuru : Kapan?
Rakdak : Pertama kali untukku. Mengikuti pemakaman, di depan nisan yang belum terpasang.
Nuru : Aku tak ingat.
Rakdak : Aku yang membawa nisan saat itu. Semua mengeluarkan air mata terkecuali kamu. Ketika itu angin mengisyaratkan kesedihan dengan sangat pilu. Kita menyepi, hanya kita berdua. Memperhatikan pundak-pundak dari sisi lain. Kutatap dirimu. Kamu sudah lupa?
(Hening)
Nuru : Kematian Sattu?
Rakdak : Iya. Ketika itulah kita berjumpa. Pertama kali aku melihat dirimu. Kamu harus mengingatnya.
Nuru : Aku tentu mengingat akan hal itu. Cuma sedikit lupa pemakaman siapa?
Rakdak : Terlalu banyak pemakaman?
Nuru : Masih ingat sewaktu datang ke rumahku? Pertama kali.
Rakdak : Aku Ingat, pertemuan kedua kali kita.
Nuru : Semua bahagia menyambut kelahiran Adikku Tawang.
Suara tangisnya memecah kesunyian kala itu, se-jam sebelum kita bertemu untuk pertama kalinya.
Rakdak : Tak butuh waktu yang lama untukku meminta Ambo meminangmu.
Nuru : Dan kau mendapatkanku. Dengan alasan cinta, kau katakan padaku akan menjagamu selalu, kau katakan apapun yang ada pada bagian tubuh ini akan selalu kau fikirkan. Kau akan memikirkanku selalu.
Rakdak : Iya tentu.
Nuru : Kau memikirkanku selalu.
Rakdak : Iya tentu.
Nuru : Lalu aku sudah seperti ini sekarang.
Rakdak : Sangat ringkas kalau diceritakan.
Nuru : Kehidupan selalu singkat dalam tutur.
Rakdak : Selalu.
Nuru : Tutur dengan segala alibi yang ada di dalamnya.
Rakdak : Akan tersingkap juga nantinya.
(Hening)
Nuru : Ada apa Daeng? Apa yang Daeng pikirkan? Semua baik-baik sajakan?
Rakdak : Iya Andi.
Nuru : Baguslah kalau begitu.
Lantas apa yang membuat Daeng nampak begitu cemas?
Rakdak : Entahlah, sepertinya cemas selalu menyertaiku akhir-akhir ini.
Nuru : Cemasnya egois?
Rakdak : Maksudmu egois…
Nuru : Tak mencemaskan diri sendiri.
Rakdak : Entahlah, cemas yang rumit.
Nuru : Serumit memikirkan orang yang disayangi?
Rakdak : Menyangi kamu dan Ambo adalah sebuah kewajiban bagiku.
Nuru : Jangan selalu menjadikannya kewajiban Daeng, takut nantinya akan menuntut hak.
(Rakdak tiba-tiba memikirkan sesuatu)
Nuru : Ada apa Daeng? Apakah aku melukaimu?
Rakdak : Tidak apa-apa Andi.
Nuru : Lantas?
Rakdak : Sepertinya cintaku dibatasi oleh waktu.
Nuru : Berkatalah yang lain Daeng selain pernyataan tentang keterbatasan cintamu padaku. Sakit untukku mendengarnya. Bukankah Daeng telah berjanji untuk jatuh cinta selamanya padaku.
Rakdak : Janji untuk terus jatuh.
Nuru : Tak boleh bangkit.
Rakdak : Tak boleh mencintai.
Nuru : Harus jatuh cinta.
Rakdak : Sebab jatuh cinta selalu berusaha untuk mendapatkan cinta. Bukankah begitu Andi?
Nuru : Iya Daeng.
Rakdak : Apakah Andi tidak keluar rumah seperti janji Andi kepada saya untuk tetap di rumah?
Nuru : Sampai kapan?
Rakdak : Kamu terbebani dengan permintaanku?
Nuru : Daeng, aku tak tahu apa yang kau pikirkan tentang ini.
Menyuruhku terus-terusan di rumah tanpa melihat dunia luar.
Rakdak : Untuk sementara keadaan di luar adalah musuh bagimu.
Nuru : Aku punya tangan, aku punya kaki, aku punya mata, aku tak bisa terus-terusan menggunakannya dalam keadaan yang menjemukan seperti ini.
Rakdak : Tak selamanya juga Andi.
Nuru : Kesadaran Daeng, anggota tubuhku menuntutku untuk berbuat lebih.
Aku selalu menahan mereka dengan janji yang tak bisa kuingkari. Bagaimanapun rutinitas kadang berubah menjadi racun kalau sudah keterlaluan.
(Rakdak tak menjawab)
Nuru : Rutinitas yang ganjil.
Rakdak : Ambo sakit Andi.
Nuru : Beri aku satu hari.
Rakdak : Tidak.
Nuru : Tiba-tiba aku ingin meledak. Desakan lahiriahku terus saja menuntut.
Rakdak : Kehendakmu yang membuat seperih itu.
Nuru : Contoh yang tak terelakkan.
aku sadar aku tak bisa tak menuruti mu, aku takut melanggarnya. Seandainya saja pemenjaraan ini kau logikan.
Rakdak : Kesehatan kamu dan calon bayimu.
Nuru : Apakah dengan saya jalan ke luar, segala macam penyakit bisa mejangkitiku begitu saja?
Rakdak : Bisa saja…
Nuru : oh….. sungguh lemahnya diriku ini… sama sekali tak masuk akal….
Rakdak : Bukan hanya penyakit yang bisa menjangkitimu.
Nuru : Mencoba alasan yang lain!?
Rakdak : Kejahatan.
Nuru : Kemungkinan dalam ketakutan.
Rakdak : Kejahatan adalah seluruh kemungkinan yang bisa terjadi.
Nuru : Yang jahat siapa sekarang.
Rakdak : Maksudmu Aku?
Nuru : Aku berarti.
Rakdak : Kalau tiba-tiba ada yang iri melihat kehamilanmu, dan mencoba menyakitimu bagaimana?
Nuru : Daeng kita ini tinggal di lingkungan di mana orang-orangnya masih satu keturunan.
Rakdak : Justru keturunan itulah yang membuatku cemas.
Nuru : Kecemasanmu semakin berkarat.
Rakdak : Kecemasan dalam kemasan yang terus-terus menghantuiku. Bahkan membuatku takut dengan diriku sendiri.
Nuru : Maksud Daeng?
Rakdak : Tak usah kau hiraukan Andi.
Nuru : Ada satu soal Daeng. Bahwa kadang-kadang orang ingin mengetahui apa yang membuat dirinya seperti ini. Dan aku adalah salah satu orang percaya dengan hal semacam itu. Sedangkan sebagian orang menukarnya dengan kepercayaan yang belum tentu kejelasannya.
Rakdak : Orang akan berbicara dengan jelas kalau ia sudah mengenal hal penyebabnya.
Sebagian diriku ini masih ragu sementara di sebahagiannya lagi masih terus berusaha menekan keraguan tersebut.
Nuru : Aku dan bayiku ini sukses menjadi korban keraguanmu.
Rakdak : Inilah kebaikanku, yang menenangkan aku seluruhnya, dengan cara seperti inilah aku sedikit tentram untuk dirimu Andi.
Nuru : Kau memberiku kebaikan sebagai sebuah jatah ketidakadilan.
Rakdak : Aku suamimu dan aku Bapak dari anak itu.
Nuru : Sukses untuk terus mengucilkanku.
Rakdak : Sebaiknya tetap seperti itu.
Nuru : Sampai kapan Daeng?
Rakdak : Pengulangan…!! Pengulangan itu terjadi lagi sekarang. Aku, Ambo, kamu dan beberapa orang di luar sana yang masih satu garis keturunan dengan kita berada di jumlah 9 sekarang.
Bayi kita…
Pakanjara (Fade Out).
TIGA
Sinrilik
Menceritakan kelahiran sebagai sebuah konsekuensi dari kehidupan, dan kehidupan sebagai konsekuensi dari kematian.
Visualisasi kelahiran dan kematian
SEBUAH KURSI BERADA DI ANTARA DUA PINTU DEPAN DAN BELAKANG DALAM SATU GARIS. JARU DUDUK DI ATAS KURSI. TAWANG MASUK MEMBUKA PINTU
Tawang : Nuru masih hidup?
Rakdak : Bagaimana bisa kau ada di sini?!
Tawang : Nuru masih hidup?
Rakdak : Apakah tak ada tempat lain selain di sini, untuk pertanyaan itu?
Kau bisa saja menanyaiku di jalan, ataukah di mana saja, tapi tidak dengan datang ke sini!!
Tawang : Sudah berlalu masa yang kebetulan buatku, aku sengaja datang ke sini, aku ingin mengetahui kabarnya.
Rakdak : Dia baik-baik saja, kau sudah mengetahui kabarnya. Silahkan pergi.
Tawang : Aku ingin bertemu dengannya.
Rakdak : Kau bisa menemuinya lain kali.
Tawang : Aku sudah ada di sini.
Rakdak : Aku sudah memberitahumu!!
Tawang : Aku menolak mengetahuinya hanya dengan kabar.
Rakdak : Kau tak senang dengan kabar baik yang kuberikan?
Tawang : Aku tak sekedar hanya bertanya…
Rakdak : Mengapa kau lakukan itu?
Tawang : Aku datang ke sini untuk bertemu dengan saudaraku.
Rakdak : Apa tujuanmu? Kenapa kamu di sini?
Tawang : Karena keyakinan, khawatir dengan kepercayaanku.
Rakdak : Aku tanya sekali lagi apa tujuanmu? Menyembunyikan tujuan dengan sebuah pernyataan kekhawatiran.
Tawang : Tidak ada maksud apapun, aku saudaranya.
Rakdak : Aku tahu dan aku juga sudah menjadi saudaramu. Sekarang jujurlah apa tujuan kamu?
Tawang : Tujuanku?
Rakdak : Iya.
Tawang : Tujuanku?! Seperti menjawab sebuah pertanyaan yang berbau tuntutan.
Rakdak : Aku percaya kau mempunyai tujuan.
Tawang : Berkali aku bilang aku saudaranya!, adik dari isteri yang kau nikahi. Jauh dari tekanan.
Rakdak : Tujuan manusia selalu jauh dari masalah.
Tawang : Lantas, setelah ucapanku itu, kamu tetap mengejar sebuah jawaban.
Rakdak : Karena aku yakin tak sesederhana itu.
Tawang : Tujuanku membuat segala-galanya menjadi jelas atas kabar yang kau berikan kepadaku tadi.
Rakdak : Jadi kamu tetap bersikukuh untuk tidak mempercayai atas apa yang kuucapkan tadi.
Tawang : Aku tidak katakan itu?!
Rakdak : Mencoba menjadi saudara yang jauh dari biasa?
Tawang : maksudmu?
Rakdak : Ya, dan setelahnya itu kau menemukan tujuan kamu dengan Nuru.
Tawang : Ada apa dengan dirimu itu, aku datang dengan pertanyaan yang begitu sederhana.
Rakdak : Jawabannya telah kau dapat tadi.
Tawang : Aku tidak akan ke sini, jika tidak tiap kali kita bertemu, kau terus-terusan memberi jawaban yang sama…
Rakdak : Karena kenyataannya memang seperti itu…
Tawang : …dan melarangku ke sini. Melarangku untuk bertemu dengannya.
Rakdak : Iya.
Tawang : Kenapa?
Rakdak : Kau tidak boleh melihat apa saja yang mungkin nantinya membuatmu bahagia. Karena itu akan membuatmu khawatir. Kau tak boleh bertemu dengan Nuru untuk saat ini, tak boleh!
Tawang : Aku belum menafkahkan bahagia untuk diriku sendiri sebelum bertemu dengannya.
Rakdak : Akan ke sana juga nantinya.
Tawang : Aku heran, mengapa kau menetapkan sesuatu dengan seenaknya saja.
Tiba-tiba aku merasa aku berada dalam kekuasaanmu sekarang. Memenuhi segala tuntutanmu tanpa mengindahkan permintaanku.
Rakdak : Sebab aku takut pada pikiranku sendiri, juga pada pikiran-pikiran yang nantinya akan muncul kemudian.
Tawang : Rakdak..! Aku ingin bertemu dengan kakakku Nuru..! Aku ingin mengetahui keadaannya..! Aku sudah lelah dengan segala jawaban dan larangan-larangan konyolmu itu…
Rakdak : Ini adalah tempatku, jangan pernah berbuat seenaknya di sini! Pulanglah…
Tawang : Tidak sebelum bertemu dengan Nuru.
Rakdak : Pulanglah.. Ini Adalah Tempatku..!!!
(Hening)
Tawang : Aku pergi…
Rakdak : Kami akan mengunjungi mu dalam waktu dekat ini tapi bukan sekarang.
Tawang : Rannu melahirkan.
Keluar Nuru
Nuru : Daeng. Ambo meninggal.
Rakdak Masuk.
Tawang : Nuru, kamu hamil?
Terdengar dari dalam:
Rakdak : (Terdengar jeritan Rakdak)
Tawang…. Jangan pernah kau dekati Nuru.
Masuk Rakdak.
Rakdak : Apa yang ingin kau lakukan, kepada Nuru? Kau merasa terancam dengan calon bayi itu?! Kenapa kau terus-terusan melihat kandungannya! Nuru… jauhi dia.
Nuru : Daeng ada apa?
Rakdak : Satu-satunya yang bisa kuselamatkan sekarang adalah kamu dan bayi kita. Selebihnya lagi sudah nampak semu. Semua sudah jelas sekarang!!!
Tawang : Kau bicara tentang apa?!
Rakdak : Jumlah,
Tawang : Kenapa?
Rakdak : Kelahiran.
Tawang : Apa?
Rakdak : Kematian.
Tawang : Tak kumengerti.
Rakdak : Kau ingin membunuh Nuru?
Tawang : Kata-katamu semakin kacau.
Rakdak : Karena bayi itu?
Tawang : Pikiranmu sudah kemana-mana.
Rakdak : Bahkan aku juga.
Tawang : Untuk apa?
Rakdak : Untuk memperpanjang umurmu…
(Hening)
Nuru : Sembilan… Jumlah kita sekarang sudah di angka Sembilan?
Rakdak : Sudah. sebenarnya kita sudah berada di angka itu, sebelum Ambo meninggal.
Nuru : Kalau Ambo meninggal, berarti…
Rakdak : Baru saja Rannu melahirkan.
Tawang : Ada apa ini?!
Rakdak : Kau masih saja terus berpura-pura.!! Kau terus saja menyembunyikan tujuanmu.
Tawang : Dari awal aku sudah mengatakan, aku tak mempunyai tujuan apa-apa, selain ingin bertemu dengan Nuru.
Nuru : Aku diam di sini, tak boleh ke luar…
Tawang : dia ternyata ada.
Nuru : Karena aku hamil.
Rakdak : Aku masih meragukanmu.
Tawang : Aku tak percaya bahwa kau mempercayai hal tersebut. Ini hanya sebuah kebetulan.
Rakdak : (Tertawa) kau mengatakan ini kebetulan? (menangis) kematian Ambokku di saat kelahiran bayi Rannu…
Tawang : Proses duniawi, ada kelahiran dan ada kematian.
Rakdak : Aku dilahirkan bersamaan setelah itu Indoku meninggal. Masih mengatakan itu sebuah kebetulan, sebuah kewajaran?
Nuru : Tawang… kamu lahir setelah kematian Sattu.
Tawang : Semuanya pada saat kita berjumlah Sembilan orang.
Nuru : Iya.
Rakdak : Apa semua itu tidak cukup untuk meyakinkanku!!
(Hening)
Rakdak : Kelahiran dan kematian sekali lagi mempermainkanku, mengambil satu persatu apa yang sebenarnya tak rela ku lepaskan. Aku lelah dengan semua ini, sepertinya aku ada menyaksikan mereka pergi satu persatu. Ambo, Indo, dan mungkin besok salah satu diantara kita berdiri sunyi di depan pintu sambil melambaikan tangan kehilangan. Tak ada yang bisa kuperbuat.
Andi… (mendekati Nuru), aku takut kehilangan dirimu.
Nuru : Jangan dekati aku!!!
Rakdak : Ada apa?
Nuru : Jangan mendekat!!
Rakdak : Kau mencurigaiku juga Andi?
Nuru : Kemungkinan siapa yang tahu, kita berada di angka Sembilan sekarang.
Rakdak : Tak mungkin aku menyakitimu.
Nuru : Aku hamil, dan aku tahu anak dalam kandunganku ini akan membuat salah satu diantara kita akan mati.
Rakdak : Nuru kau tak mencintaiku lagi?
Tawang : Ini sebuah kegilaan!!
Nuru : Tiba-tiba aku mengetahui kalau aku sudah tua sekarang, Aku menghadapi kematian sementara di tubuhku ada sebuah kehidupan.
Rakdak : Sejak kita memutuskan untuk bersama, kehidupanku adalah kehidupanmu.
Nuru : Dan kau tak pernah mengatakan akan membagi kehidupan kita kelak, selalu membicarakan tentang kita, aku dan kamu tanpa ada orang lain.
Tawang : Ini sebuah lelucon kejam tentang kebebasan.
Rakdak : Diam kamu!!
Tawang : Sepertinya aku sudah punya alasan buatmu Rakdak!!
Rakdak : Kamu ingin membunuhku…
Tawang : Bisa saja…
Rakdak : Akhirnya aku sudah punya nyawa untuk jalan anakku lahir.
Nuru : Sudah, hentikan semua ini!!
Rakdak : Kau bersamaku Andi?
Tawang : Nuru.
Nuru : Aku tak pernah mengatakan akan memihak siapa diantara kalian, pun kalian bisa saja menyingkirkan aku dan bayi ini. Dan aku tak sekejam itu untuk melihat salah satu diantara kalian saling membunuh, sebagai sebuah jalan untuk anakku ini lahir. Ingat Rakdak kau suamiku, Tawang kau adikku, bukankah kalian sudah menjadi saudara juga.
Rakdak : (Histeris), pemberian Takdir apa semacam ini!!
Nuru : Ambo, Indo, Daeng, Tawang, Aku dan juga Bayi ini, sebenarnya sudah masuk dalam lingkaran takdir. Setelah kematian Ambo, di luar sana masih ada 6 orang yang dipermainkan oleh takdir seperti ini juga.
Nuru : 2 orang, sepasang Suami Isteri tua, yang belum mempuyai keturunan. Pundeng dan Nanna.
Rakdak : 3 orang, Rannu, bayinya, dan juga suaminya Kama.
Tawang : 1 lagi… Pammase… calon isteriku….
Rakdak : Sepertinya tak ada jalan lain…
Nuru : Untuk tetap memperpanjang umur kita.
Rakdak : Kita harus membunuh mereka…
Nuru : Cukup adil sebenarnya, tanpa harus saling menyakiti diantara kita. Kalaupun kita tidak berhasil membunuh mereka, malah sebaliknya kita yang terbunuh, tapi setidaknya peluang yang lain untuk tetap hidup akan tetap terjaga.
Tawang : Semuanya??
Rakdak : Iya.
Tawang : Kenapa?
Rakdak : Dengan mengorbankan lebih banyak nyawa setidaknya mengurangi peluang sampainya kita nanti pada jumlah Sembilan.
Nuru : Dan itu akan membuat kita lebih lama hidup.
Tawang : Aku menolak!!
Kalian termakan habis dengan pikiran kalian sendiri, mencoba mengatur sebuah alur duniawi…
Rakdak : Karena alasan calon isterimu itu?
Tawang : Kita tak akan pernah bisa memberikan nasib kepada orang lain.
Nuru : Tawang, kalau kamu berfikiran seperti itu, sama halnya mendekatkan dirimu dengan kematian. Kami berdua.
Rakdak : Kau bersamaku Andi?
Nuru : Iya Daeng.
Tawang…, membunuhmu sekarang juga tak memberikan efek yang terlalu kepada kami, hanya sampai anak kami lahir, setelah itu masih ada aku dan suamiku.
Rakdak : Berumur panjang jugalah Tawang.
(Hening)
Tawang : Aku bersikap dengan ketahanan pikiran untuk mempercayai segala hal yang telah mengatur kita, semuanya. Aku tak menyangka kabar yang kubawa seketika meruntuhkan segala kepercayaaanku. Kalian membawaku.
Nuru : Kamu setuju?
Tawang : Tapi biarkan aku sendiri yang memilih korbanku.
Nuru : iya.
Rakdak : Kamu memilih siapa?
Tawang : Aku memilih Rabasiah.
Nuru : Daeng?
Rakdak : Biarkan aku memilih keluarga Nuru, sekalian membunuh bayi itu.
Nuru : Suami Isteri yang renta…
Rakdak : Akan ada nyawa yang hilang, entah itu mereka atau kita.
Nuru : Setidaknya akan memperpanjang umur.
Rakdak : Setelah membunuh kita berjanji akan berkumpul di sini kembali. Untuk mengetahui keadaan nasib masing-masing.
Tawang : Baiklah, aku pergi…
(keluar Tawang)
Nuru : Tawang..
(Nuru menghampiri. Tawang berbalik, kemudian keluar tanpa mengindahkan)
Rakdak : Kita tidak bersama-sama saja melakukannya Andi?
Nuru : Sepertinya mereka belum menyadari kalau aku ini sedang hamil, pergi bersama-sama pasti akan menimbulkan kecurigaan.
Rakdak : Kalau begitu aku sendiri yang menyelesaikannya, Andi di rumah saja menunggu.
Nuru : Tidak, lebih cepat lebih baik Daeng. Mereka tak akan mengetahui maksud kedatangan kita…
Rakdak : Tapi..
Nuru : Itulah yang menjadi peluang kita sebenarnya.
Rakdak : Tapi…
Nuru : Jangan khawatir Daeng.
Rakdak : Andi yakin?
Nuru : Iya Daeng…
Rakdak : Jaga dirimu Andi…
(Nuru Pergi tak mengindahkan)
Rakdak : Andi…
(Nuru terhenti)
Rakdak : Bawa ini…
(Memberikan badik, keraguan menghampiri Nuru. Hening sampai Rakdak meyakinkannya dengan meletakkan badik tersebut di atas kursi)
(Nuru mengambil badik)
Rakdak : Kita hanya punya satu nyawa…
(Nuru Pergi)
(Fade Out)


0 komentar:

Posting Komentar