ASSERA
_terinspirasi dari mitos To Balo,
Dimana masyarakat To Balo tak pernah
berjumlah lebih dari 9 orang
Pruce
Tanpa Pemanis Buatan
100% Halal
2011
SATU
l anaro kampongnge Gattareng sibawaa
Bulo-bulo,
tennatuoi api,
tenna engkalinga sadda palunggng,
tenna sabbi oni manu,
tenna bokkai asu.
Tau taummu,
tana tanamu,
mana mana'mu,
nasaba Lamuru mabelai, Tanete
makawei,
narekko maddarai tauwe, marakkoi
darana nappa lettu ri Lamuru,
narekko ri Tanete "engka muatu
salo lawai, naiakiya salo ri luppe-luppekuamuatu”
Sinrilik
Menceritakan asal muasal Masyarakat
ini, kejadian yang terjadi sehingga kutukan 9 ada pada masyarakatnya. Adalah
Rakdak, salah seorang dari sembilan keturunan tersebut…
SEBUAH KURSI BERADA DI ANTARA DUA
PINTU DEPAN DAN BELAKANG DALAM SATU GARIS. JARU DUDUK DI ATAS KURSI MENATAP,
BERGERAK MEMBUKA PINTU. RAKDAK MASUK
Rakdak : Ambo masih hidup?
Jaru : Sementara sakit.
Rakdak : Hidup sambil sakit.
Jaru : Hidup menuju sakit, sakit
menuju ajal.
Rakdak : Sakit apa?
Jaru : Untuk hari ini kurasakan Lasa
Ulu.
Rakdak : Penyakit serius?
Jaru : Letaknya dekat otak,
menyebabkan kerusakan kendali gerak, pikiran, bahkan kematian.
Rakdak : Kenapa memilih otak untuk
hari ini, bukan hati?
Jaru : Bosan. Hati selalu menuntut
hati-hati. Lama sembuhnya dan tak berujung pada kematian.
Rakdak : Setidaknya mengurangi
kemungkinan berpisah.
Jaru : Relatif.
Rakdak : Relatif yang menjanjikan.
Jaru : Menjanjikan persoalan yang
tak abadi maksudmu.
Rakdak : Ambo mau saya panggilkan Sandro?
Jaru : Tidak usah. Aku hanya mau
diam di sini menuggu kelahiran.
Rakdak : Kelahiran siapa?
Jaru : Salah satu di antara kita.
Rakdak : Nuru isteriku belum
waktunya Ambo.
Jaru : Orang lain mungkin.
Rakdak : Ambo selalu memastikan
sesuatu yang memungkinkan.
Jaru : Persoalan jumlah.
Rakdak : Jumlah?
Jaru : Hidup ini penuh dengan
perhitungan, mudah saja cuma menggunakan sedikit teori penjumlahan dan
penambahan. Selalu dinamis.
Rakdak : Semoga saja dinamis itu tak
ditumis, biar aromanya tak melukai perasaanku.
Jaru : Jangan menyulut apimu terlalu
besar supaya matang tepat waktu.
Rakdak : Aku pergi memanggil Sandro
sekarang.
Jaru : Untuk apa?
Rakdak : Untuk mengobati Ambo.
Jaru : Apa aku terlihat mau sembuh?
Rakdak : Jangan terlalu keras
kepala, apa Ambo mau mati?
Jaru : Sudah siap.
Rakdak : Nanti sakitnya bertambah
parah.
Jaru : Persoalan sakit, baik sakit
yang nampak maupun sakit yang kasat mata. Seberapa banyak pengetahuanmu untuk
mengatakan separah atau tidak nantinya sakitku ini?
Rakdak : Sudah alami penyakit tak
diobati malah akan semakin parah.
Jaru : Maka biarkanlah sakitku ini
tuk alami, sakit juga tak perlu diganggupun akan sembuh, tak usah memaksakan
sesuatu.
Rakdak : Aku pergi sekarang.
Jaru : Yang sakit itu sebenarnya
bukan Ambo, tapi kamu. Terlalu banyak keinginan.
Rakdak : Kehidupan selalu melahirkan
keinginan.
Jaru : Keinginan selalu dilumuri
nafsu, hidup dengan tubuh yang selalu dahaga.
Rakdak : Keinginanku baik.
Jaru : Kita selalu lebih jatuh cinta
terhadap keinginan dibanding dengan yang lainnya. Tak mutlak yang baik itu akan
baik juga untukmu.
Diam dulu..
Rakdak : Aku diam
Jaru : Aku mencoba menikmati sakit
ini. Nikmat sekali, otak sakit menimpa pikiran, pikiran jauh dari keinginan
semu. Kesemuan yang selalu tak berujung. Tak mau mencoba?
Rakdak : Tidak.
Jaru : Waku selalu cacat untuk
menghasilkan kesehatan. Sekali-kalilah merasakan sakit, biar hidupmu tak
monoton terus.
Rakdak : Ambo menyuruhku sakit? sama
saja dengan mengguruiku untuk mencandai kehidupan
Jaru : Tentunya akan lebih luwes
dengan merasakan sakit.
Rakdak : Iya, alur hidup pastinya
akan menuju kesakitan nantinya. Tapi tidak dalam waktu dekat ini.
Jaru : Maka diamlah di sini tak usah
kemana-mana.
Rakdak : Sebetah itu kah Ambo
merasakan sakit. Kalau kenapa-kenapa bagaimana?
Jaru : Kalau kenapa-kenapa denganku,
bagaimana?
Rakdak : Aku sedih.
Jaru : Kenapa?
Rakdak : Aku menyayangi Ambo.
Jaru : Aku juga menyayangimu.
Rakdak : Jadi kalau terjadi
kenapa-kenapa denganku Ambo sedih?
Jaru : Tidak.
Rakdak : Rasa sayang yang
menyedihkan.
Jaru : Justru rasa sayangmu yang
menyedihkan.
Rakdak : Mana mungkin ungkapan
sayang akan terarah jika orang yang disayangi mengalami bencana.
Jaru : Setelah orang yang kamu
sayangi itu mengalami bencana, apakah kamu sedih?
Rakdak : Iya.
Jaru : Rasa sayang yang menimbulkan
kesedihan bukan? Takaran, anakku. Jangan selalu melebih-lebihkan sesuatu.
Rakdak : Jadi, maksudnya aku harus
di sini, tanpa melakukan apapun, diam, tenang sambil menyaksikan kehidupan
Ambo, yang sedikit yang demi sedikit akan dicuri oleh waktu?
Jaru : Iya.
Rakdak : Ambo selalu saja seperti
ini, bukan main keras kepalanya. Kalau terus-terusan sakit itu dipelihara…
Jaru : Aku jadi almahrum. Luar bisa
bukan, gelar yang otodidak, diraih dengan alami.
Rakdak : Selalu saja, selalu dan
terus-terusan memikirkan diri sendiri. Apakah Ambo tidak memikirkan bagaimana
sedihnya anakmu ini kelak ketika Ambo tiada?
Jaru : Kehidupan itu berlangsung
tiap detiknya, semakin lama nantinya pun kita akan semakin dekat dengan yang
namanya kematian. Segala kemungkinannya kita takkan bisa menebak, apapun itu
Ambomu ini sudah rela menghadapinya. Apakah nantinya keadaan yang membahagiakan
ataukah malah akan melarutkan dalam sebuah kedukaan.
Rakdak : Apakah memang Ambo sudah
rela untuk meninggalkan aku?
Jaru : Tubuh dan jiwa anakku. Aku
ingin jiwa ini mencapai kebenaran, bebas dari penglihatan, pendengaran, suka
maupun duka, bebas dari segala keinginan. Mungkin saja hal tersebut segera
terjadi. Tulus dan ikhlas sajalah.
Rakdak : Sekali lagi kehilangan
orang yang dikasihi? Naif jika aku tulus dan ikhlas, bagaimanapun juga
kehidupanku tak akan sebahagia dengan melepaskan segala kenangan dan cinta
kasih yang selama ini telah akrab denganku. Itu sama halnya dengan melepaskan
sebahagian kehidupan dari sisiku.
Jaru : Kamu terlalu memberi asupan
yang berlebihan kepada tubuhmu itu.
Rakdak : Iya, aku menyalahkan tubuh
ini, kenapa harus ada kesedihan di raut parasnya jika senyuman saja sudah
terlalu mahal di garis keturunan kita.
Jaru : Jangan mengungkit garis
keturunan!!!
Tubuh adalah segala sumber
keinginan, semakin kau meladeninya semakin tersiksa jiwamu. Hal yang seperti
itu pastinya akan terjadi. Meninggalkan dan ditinggalkan adalah sebuah
kewajaran yang harus.
Rakdak : Tidak wajar untuk kita,
sebagai keturunan yang terkutuk.
Jaru : Apakah telinga sudah tidak
berfungsi di tubuhmu itu Rakdak?!
Jangan menyamarkan takdir dengan
mengatasnamakan keturunan!!!, Itu sama halnya kamu menolak menjadi anakku.
Identifikasi sebuah kedurhakaan.
Rakdak : Anakmu ini tak bermaksud
seperti itu, sama sekali aku tak pernah berniat memiliki wawasan yang durhaka.
Jaru : Kalau terlalu berat bagimu,
biar aku yang memilih menjadi Bapak yang Durhaka.
Rakdak : Sudahlah Ambo, aku yakin,
masih ada jalan untuk kita tetap berkumpul seperti ini menikmati suka tanpa
duka.
Jaru : Suka dan duka adalah sesuatu
yang menipu sekaligus menghantui.
Rakdak : Aku manusia Ambo, masih
memiliki Nurani.
Jaru : Semoga nurani tak termakan
habis oleh nalurimu.
Rakdak : Keinginanku tak muluk-muluk
Ambo, Aku hanya tak ingin kamu mati. Tidak lebih.
Jaru : Tertawa.
Kamu ingin aku hidup tanpa mengalami
kematian, sadarlah itu bukan keinginan yang sederhana anakku.
Kematian dan kehidupan adalah
sepasang keadaan yang mengharukan, jangan terlalu menguras tenagamu untuk
sesuatu yang wajar.
Rakdak : Maaf jika aku tak befikir
tak wajar.
Jaru : Sewajar-wajarnya keadaan
adalah sangat wajar dengan gumulan waktu, tanpa ada tuntutan. Kecemasanmu
berlebihan.
Rakdak : Kecemasan saya sebenarnya
sangatlah beralasan Ambo, entah mengapa tiap malamnya saya selalu mendapatkan
mimpi yang sama.
Jaru : Masih dengan mimpi tentang Ajajiang
dan Amateang ?
Rakdak : Iya Ambo…
Jaru : Apa yang kau cemaskan dari
mimpi itu?
Rakdak : Apakah ini bukan sebuah
pertanda?
Jaru : Mengapa kau bertanya seperti
itu?
Rakdak : Tetap seperti dengan
hari-hari kemarin…, apa yang sebenarnya Ambo sembunyikan?
Jaru : Rakdak… Kecurigaanmu sangat
tidak beralasan. Kau mengharapkan jawaban dariku atas mimpi-mimpimu. Kalaupun
kamu mencoba membicarakan tentang Ajajiang dan Amateang, Ambo kira kelahiran
dan kematian itu adalah sesuatu yang wajar.
Rakdak : Berkali-kali selalu tentang
kewajaran. Wajar dalam sebuah kebetulan yang menjadi takdir yang tragis? Takdir
yang sebenarnya sudah bisa kita ungkap.
Jaru : Jangan memandangnya dengan
penuh kesombongan seperti itu.
Rakdak : Ketika Aku sudah bisa
meyakinkan diri sendiri tentang takdir kita ini, Aku yakin diantara kita takkan
ada kata-kata perpisahan. Kematian yang seperti dialami Indo tak akan
menghampiri kita lagi.
Jaru : Ibumu digariskan di keadaan
waktu hanya sampai kamu dilahirkan. Meratapinya juga takkan bisa membuat dia
kembali. Yakin saja segala apa yang ada akan abadi dipikiran kita, meski hanya
berbentuk fana di realita kehidupan.
Rakdak : Apanya yang abadi, ketika
pikiran sudah berpisah dengan jasadnya. Apakah saya bisa meraba Ambo kelak
ketika sudah tak ada dalam raga?
Jaru : Lihat!
Rakdak : Mana?
Jaru : Apa itu ?
Rakdak : Tak ada apa-apa.
Jaru : Perhatikan baik‑baik ! Kau
tak melihat sesuatu di sana?
Rakdak : Tidak, saya tidak melihat
apa‑apa, hanya sebuah kekosangan. Ambo melihat apa ?
Jaru : Perhatikan dengan teliti.
Sekarang dia bergerak ke kanan. Dia sepertinya, enggan ke sini, menunggu waktu
yang tepat!
Rakdak : Tapi saya tak melihat apa‑apa.
Jaru : Dia menatapku dengan tatapan
yang sangat hangat, lihat… sekarang dia menatapmu.
Rakdak : Mana? Tidak ada apa‑apa !
saya tidak melihat apa-apa.
Jaru : Tatapannya kepadamu begitu
aneh.
Kamu sudah yakin, kalau aku akan
mendahuluimu di kematian??
Burung-burung melingkar di kubah
rumah kita, matanya tajam tak bersuara, duka cita tidak semua obatnya canda,
doa doa apa saja yang menjadikan sakit punya harapan doa doa apa saja yang
meninabobokan ketakutan ..
(pause)
(Fade Out)
DUA
Sinrilik
Menceritakan kehidupan pernikahan
Rakdak dan Nuru yang masih dalam satu garis keturunan.
SEBUAH KURSI BERADA DI ANTARA DUA
PINTU DEPAN DAN BELAKANG DALAM SATU GARIS. RAKDAK DUDUK DI ATAS KURSI MENATAP,
BERGERAK MEMASTIKAN PINTU TERTUTUP. NURU MASUK
Nuru : Daeng masih hidup?
Rakdak : Takkan meninggalkanmu Andi.
Bagaimana keadaanmu hari ini?
Nuru : Baik.
Rakdak : Bayi kita
Nuru : Juga Baik.
Rakdak : Baguslah.
Nuru : Apa itu baik?
Rakdak : Tentu.
Nuru : Kenapa?
Rakdak : Aku menyayangimu.
Nuru : Seperti tak memiliki usia
saja.
Rakdak : Sudah kupirkan.
Nuru : Tak menanyakan yang lain
seperti biasa?
Rakdak : Tak pernah ke luar hari
ini?
Nuru : Tidak!!
(Hening)
Rakdak : Masih ingat waktu kita di Romang?
Nuru : Kapan?
Rakdak : Pertama kali untukku.
Mengikuti pemakaman, di depan nisan yang belum terpasang.
Nuru : Aku tak ingat.
Rakdak : Aku yang membawa nisan saat
itu. Semua mengeluarkan air mata terkecuali kamu. Ketika itu angin
mengisyaratkan kesedihan dengan sangat pilu. Kita menyepi, hanya kita berdua.
Memperhatikan pundak-pundak dari sisi lain. Kutatap dirimu. Kamu sudah lupa?
(Hening)
Nuru : Kematian Sattu?
Rakdak : Iya. Ketika itulah kita
berjumpa. Pertama kali aku melihat dirimu. Kamu harus mengingatnya.
Nuru : Aku tentu mengingat akan hal
itu. Cuma sedikit lupa pemakaman siapa?
Rakdak : Terlalu banyak pemakaman?
Nuru : Masih ingat sewaktu datang ke
rumahku? Pertama kali.
Rakdak : Aku Ingat, pertemuan kedua
kali kita.
Nuru : Semua bahagia menyambut
kelahiran Adikku Tawang.
Suara tangisnya memecah kesunyian
kala itu, se-jam sebelum kita bertemu untuk pertama kalinya.
Rakdak : Tak butuh waktu yang lama
untukku meminta Ambo meminangmu.
Nuru : Dan kau mendapatkanku. Dengan
alasan cinta, kau katakan padaku akan menjagamu selalu, kau katakan apapun yang
ada pada bagian tubuh ini akan selalu kau fikirkan. Kau akan memikirkanku
selalu.
Rakdak : Iya tentu.
Nuru : Kau memikirkanku selalu.
Rakdak : Iya tentu.
Nuru : Lalu aku sudah seperti ini
sekarang.
Rakdak : Sangat ringkas kalau
diceritakan.
Nuru : Kehidupan selalu singkat
dalam tutur.
Rakdak : Selalu.
Nuru : Tutur dengan segala alibi
yang ada di dalamnya.
Rakdak : Akan tersingkap juga
nantinya.
(Hening)
Nuru : Ada apa Daeng? Apa yang Daeng
pikirkan? Semua baik-baik sajakan?
Rakdak : Iya Andi.
Nuru : Baguslah kalau begitu.
Lantas apa yang membuat Daeng nampak
begitu cemas?
Rakdak : Entahlah, sepertinya cemas
selalu menyertaiku akhir-akhir ini.
Nuru : Cemasnya egois?
Rakdak : Maksudmu egois…
Nuru : Tak mencemaskan diri sendiri.
Rakdak : Entahlah, cemas yang rumit.
Nuru : Serumit memikirkan orang yang
disayangi?
Rakdak : Menyangi kamu dan Ambo
adalah sebuah kewajiban bagiku.
Nuru : Jangan selalu menjadikannya
kewajiban Daeng, takut nantinya akan menuntut hak.
(Rakdak tiba-tiba memikirkan
sesuatu)
Nuru : Ada apa Daeng? Apakah aku
melukaimu?
Rakdak : Tidak apa-apa Andi.
Nuru : Lantas?
Rakdak : Sepertinya cintaku dibatasi
oleh waktu.
Nuru : Berkatalah yang lain Daeng
selain pernyataan tentang keterbatasan cintamu padaku. Sakit untukku
mendengarnya. Bukankah Daeng telah berjanji untuk jatuh cinta selamanya padaku.
Rakdak : Janji untuk terus jatuh.
Nuru : Tak boleh bangkit.
Rakdak : Tak boleh mencintai.
Nuru : Harus jatuh cinta.
Rakdak : Sebab jatuh cinta selalu
berusaha untuk mendapatkan cinta. Bukankah begitu Andi?
Nuru : Iya Daeng.
Rakdak : Apakah Andi tidak keluar
rumah seperti janji Andi kepada saya untuk tetap di rumah?
Nuru : Sampai kapan?
Rakdak : Kamu terbebani dengan
permintaanku?
Nuru : Daeng, aku tak tahu apa yang
kau pikirkan tentang ini.
Menyuruhku terus-terusan di rumah
tanpa melihat dunia luar.
Rakdak : Untuk sementara keadaan di
luar adalah musuh bagimu.
Nuru : Aku punya tangan, aku punya
kaki, aku punya mata, aku tak bisa terus-terusan menggunakannya dalam keadaan
yang menjemukan seperti ini.
Rakdak : Tak selamanya juga Andi.
Nuru : Kesadaran Daeng, anggota
tubuhku menuntutku untuk berbuat lebih.
Aku selalu menahan mereka dengan
janji yang tak bisa kuingkari. Bagaimanapun rutinitas kadang berubah menjadi
racun kalau sudah keterlaluan.
(Rakdak tak menjawab)
Nuru : Rutinitas yang ganjil.
Rakdak : Ambo sakit Andi.
Nuru : Beri aku satu hari.
Rakdak : Tidak.
Nuru : Tiba-tiba aku ingin meledak.
Desakan lahiriahku terus saja menuntut.
Rakdak : Kehendakmu yang membuat
seperih itu.
Nuru : Contoh yang tak terelakkan.
aku sadar aku tak bisa tak menuruti
mu, aku takut melanggarnya. Seandainya saja pemenjaraan ini kau logikan.
Rakdak : Kesehatan kamu dan calon
bayimu.
Nuru : Apakah dengan saya jalan ke
luar, segala macam penyakit bisa mejangkitiku begitu saja?
Rakdak : Bisa saja…
Nuru : oh….. sungguh lemahnya diriku
ini… sama sekali tak masuk akal….
Rakdak : Bukan hanya penyakit yang
bisa menjangkitimu.
Nuru : Mencoba alasan yang lain!?
Rakdak : Kejahatan.
Nuru : Kemungkinan dalam ketakutan.
Rakdak : Kejahatan adalah seluruh
kemungkinan yang bisa terjadi.
Nuru : Yang jahat siapa sekarang.
Rakdak : Maksudmu Aku?
Nuru : Aku berarti.
Rakdak : Kalau tiba-tiba ada yang
iri melihat kehamilanmu, dan mencoba menyakitimu bagaimana?
Nuru : Daeng kita ini tinggal di
lingkungan di mana orang-orangnya masih satu keturunan.
Rakdak : Justru keturunan itulah
yang membuatku cemas.
Nuru : Kecemasanmu semakin berkarat.
Rakdak : Kecemasan dalam kemasan
yang terus-terus menghantuiku. Bahkan membuatku takut dengan diriku sendiri.
Nuru : Maksud Daeng?
Rakdak : Tak usah kau hiraukan Andi.
Nuru : Ada satu soal Daeng. Bahwa
kadang-kadang orang ingin mengetahui apa yang membuat dirinya seperti ini. Dan
aku adalah salah satu orang percaya dengan hal semacam itu. Sedangkan sebagian
orang menukarnya dengan kepercayaan yang belum tentu kejelasannya.
Rakdak : Orang akan berbicara dengan
jelas kalau ia sudah mengenal hal penyebabnya.
Sebagian diriku ini masih ragu
sementara di sebahagiannya lagi masih terus berusaha menekan keraguan tersebut.
Nuru : Aku dan bayiku ini sukses
menjadi korban keraguanmu.
Rakdak : Inilah kebaikanku, yang
menenangkan aku seluruhnya, dengan cara seperti inilah aku sedikit tentram
untuk dirimu Andi.
Nuru : Kau memberiku kebaikan
sebagai sebuah jatah ketidakadilan.
Rakdak : Aku suamimu dan aku Bapak
dari anak itu.
Nuru : Sukses untuk terus
mengucilkanku.
Rakdak : Sebaiknya tetap seperti
itu.
Nuru : Sampai kapan Daeng?
Rakdak : Pengulangan…!! Pengulangan
itu terjadi lagi sekarang. Aku, Ambo, kamu dan beberapa orang di luar sana yang
masih satu garis keturunan dengan kita berada di jumlah 9 sekarang.
Bayi kita…
Pakanjara (Fade Out).
TIGA
Sinrilik
Menceritakan kelahiran sebagai
sebuah konsekuensi dari kehidupan, dan kehidupan sebagai konsekuensi dari
kematian.
Visualisasi kelahiran dan kematian
SEBUAH KURSI BERADA DI ANTARA DUA
PINTU DEPAN DAN BELAKANG DALAM SATU GARIS. JARU DUDUK DI ATAS KURSI. TAWANG
MASUK MEMBUKA PINTU
Tawang : Nuru masih hidup?
Rakdak : Bagaimana bisa kau ada di
sini?!
Tawang : Nuru masih hidup?
Rakdak : Apakah tak ada tempat lain
selain di sini, untuk pertanyaan itu?
Kau bisa saja menanyaiku di jalan,
ataukah di mana saja, tapi tidak dengan datang ke sini!!
Tawang : Sudah berlalu masa yang
kebetulan buatku, aku sengaja datang ke sini, aku ingin mengetahui kabarnya.
Rakdak : Dia baik-baik saja, kau
sudah mengetahui kabarnya. Silahkan pergi.
Tawang : Aku ingin bertemu
dengannya.
Rakdak : Kau bisa menemuinya lain
kali.
Tawang : Aku sudah ada di sini.
Rakdak : Aku sudah memberitahumu!!
Tawang : Aku menolak mengetahuinya
hanya dengan kabar.
Rakdak : Kau tak senang dengan kabar
baik yang kuberikan?
Tawang : Aku tak sekedar hanya
bertanya…
Rakdak : Mengapa kau lakukan itu?
Tawang : Aku datang ke sini untuk
bertemu dengan saudaraku.
Rakdak : Apa tujuanmu? Kenapa kamu
di sini?
Tawang : Karena keyakinan, khawatir
dengan kepercayaanku.
Rakdak : Aku tanya sekali lagi apa
tujuanmu? Menyembunyikan tujuan dengan sebuah pernyataan kekhawatiran.
Tawang : Tidak ada maksud apapun,
aku saudaranya.
Rakdak : Aku tahu dan aku juga sudah
menjadi saudaramu. Sekarang jujurlah apa tujuan kamu?
Tawang : Tujuanku?
Rakdak : Iya.
Tawang : Tujuanku?! Seperti menjawab
sebuah pertanyaan yang berbau tuntutan.
Rakdak : Aku percaya kau mempunyai
tujuan.
Tawang : Berkali aku bilang aku
saudaranya!, adik dari isteri yang kau nikahi. Jauh dari tekanan.
Rakdak : Tujuan manusia selalu jauh
dari masalah.
Tawang : Lantas, setelah ucapanku
itu, kamu tetap mengejar sebuah jawaban.
Rakdak : Karena aku yakin tak
sesederhana itu.
Tawang : Tujuanku membuat
segala-galanya menjadi jelas atas kabar yang kau berikan kepadaku tadi.
Rakdak : Jadi kamu tetap bersikukuh
untuk tidak mempercayai atas apa yang kuucapkan tadi.
Tawang : Aku tidak katakan itu?!
Rakdak : Mencoba menjadi saudara
yang jauh dari biasa?
Tawang : maksudmu?
Rakdak : Ya, dan setelahnya itu kau
menemukan tujuan kamu dengan Nuru.
Tawang : Ada apa dengan dirimu itu,
aku datang dengan pertanyaan yang begitu sederhana.
Rakdak : Jawabannya telah kau dapat
tadi.
Tawang : Aku tidak akan ke sini,
jika tidak tiap kali kita bertemu, kau terus-terusan memberi jawaban yang sama…
Rakdak : Karena kenyataannya memang
seperti itu…
Tawang : …dan melarangku ke sini.
Melarangku untuk bertemu dengannya.
Rakdak : Iya.
Tawang : Kenapa?
Rakdak : Kau tidak boleh melihat apa
saja yang mungkin nantinya membuatmu bahagia. Karena itu akan membuatmu
khawatir. Kau tak boleh bertemu dengan Nuru untuk saat ini, tak boleh!
Tawang : Aku belum menafkahkan
bahagia untuk diriku sendiri sebelum bertemu dengannya.
Rakdak : Akan ke sana juga nantinya.
Tawang : Aku heran, mengapa kau
menetapkan sesuatu dengan seenaknya saja.
Tiba-tiba aku merasa aku berada
dalam kekuasaanmu sekarang. Memenuhi segala tuntutanmu tanpa mengindahkan
permintaanku.
Rakdak : Sebab aku takut pada
pikiranku sendiri, juga pada pikiran-pikiran yang nantinya akan muncul
kemudian.
Tawang : Rakdak..! Aku ingin bertemu
dengan kakakku Nuru..! Aku ingin mengetahui keadaannya..! Aku sudah lelah dengan
segala jawaban dan larangan-larangan konyolmu itu…
Rakdak : Ini adalah tempatku, jangan
pernah berbuat seenaknya di sini! Pulanglah…
Tawang : Tidak sebelum bertemu
dengan Nuru.
Rakdak : Pulanglah.. Ini Adalah
Tempatku..!!!
(Hening)
Tawang : Aku pergi…
Rakdak : Kami akan mengunjungi mu
dalam waktu dekat ini tapi bukan sekarang.
Tawang : Rannu melahirkan.
Keluar Nuru
Nuru : Daeng. Ambo meninggal.
Rakdak Masuk.
Tawang : Nuru, kamu hamil?
Terdengar dari dalam:
Rakdak : (Terdengar jeritan Rakdak)
Tawang…. Jangan pernah kau dekati
Nuru.
Masuk Rakdak.
Rakdak : Apa yang ingin kau lakukan,
kepada Nuru? Kau merasa terancam dengan calon bayi itu?! Kenapa kau
terus-terusan melihat kandungannya! Nuru… jauhi dia.
Nuru : Daeng ada apa?
Rakdak : Satu-satunya yang bisa
kuselamatkan sekarang adalah kamu dan bayi kita. Selebihnya lagi sudah nampak
semu. Semua sudah jelas sekarang!!!
Tawang : Kau bicara tentang apa?!
Rakdak : Jumlah,
Tawang : Kenapa?
Rakdak : Kelahiran.
Tawang : Apa?
Rakdak : Kematian.
Tawang : Tak kumengerti.
Rakdak : Kau ingin membunuh Nuru?
Tawang : Kata-katamu semakin kacau.
Rakdak : Karena bayi itu?
Tawang : Pikiranmu sudah
kemana-mana.
Rakdak : Bahkan aku juga.
Tawang : Untuk apa?
Rakdak : Untuk memperpanjang umurmu…
(Hening)
Nuru : Sembilan… Jumlah kita
sekarang sudah di angka Sembilan?
Rakdak : Sudah. sebenarnya kita
sudah berada di angka itu, sebelum Ambo meninggal.
Nuru : Kalau Ambo meninggal,
berarti…
Rakdak : Baru saja Rannu melahirkan.
Tawang : Ada apa ini?!
Rakdak : Kau masih saja terus
berpura-pura.!! Kau terus saja menyembunyikan tujuanmu.
Tawang : Dari awal aku sudah
mengatakan, aku tak mempunyai tujuan apa-apa, selain ingin bertemu dengan Nuru.
Nuru : Aku diam di sini, tak boleh
ke luar…
Tawang : dia ternyata ada.
Nuru : Karena aku hamil.
Rakdak : Aku masih meragukanmu.
Tawang : Aku tak percaya bahwa kau
mempercayai hal tersebut. Ini hanya sebuah kebetulan.
Rakdak : (Tertawa) kau
mengatakan ini kebetulan? (menangis) kematian Ambokku di saat kelahiran
bayi Rannu…
Tawang : Proses duniawi, ada
kelahiran dan ada kematian.
Rakdak : Aku dilahirkan bersamaan
setelah itu Indoku meninggal. Masih mengatakan itu sebuah kebetulan, sebuah
kewajaran?
Nuru : Tawang… kamu lahir setelah
kematian Sattu.
Tawang : Semuanya pada saat kita
berjumlah Sembilan orang.
Nuru : Iya.
Rakdak : Apa semua itu tidak cukup
untuk meyakinkanku!!
(Hening)
Rakdak : Kelahiran dan kematian
sekali lagi mempermainkanku, mengambil satu persatu apa yang sebenarnya tak
rela ku lepaskan. Aku lelah dengan semua ini, sepertinya aku ada menyaksikan
mereka pergi satu persatu. Ambo, Indo, dan mungkin besok salah satu diantara
kita berdiri sunyi di depan pintu sambil melambaikan tangan kehilangan. Tak ada
yang bisa kuperbuat.
Andi… (mendekati Nuru), aku
takut kehilangan dirimu.
Nuru : Jangan dekati aku!!!
Rakdak : Ada apa?
Nuru : Jangan mendekat!!
Rakdak : Kau mencurigaiku juga Andi?
Nuru : Kemungkinan siapa yang tahu,
kita berada di angka Sembilan sekarang.
Rakdak : Tak mungkin aku
menyakitimu.
Nuru : Aku hamil, dan aku tahu anak
dalam kandunganku ini akan membuat salah satu diantara kita akan mati.
Rakdak : Nuru kau tak mencintaiku
lagi?
Tawang : Ini sebuah kegilaan!!
Nuru : Tiba-tiba aku mengetahui
kalau aku sudah tua sekarang, Aku menghadapi kematian sementara di tubuhku ada
sebuah kehidupan.
Rakdak : Sejak kita memutuskan untuk
bersama, kehidupanku adalah kehidupanmu.
Nuru : Dan kau tak pernah mengatakan
akan membagi kehidupan kita kelak, selalu membicarakan tentang kita, aku dan
kamu tanpa ada orang lain.
Tawang : Ini sebuah lelucon kejam
tentang kebebasan.
Rakdak : Diam kamu!!
Tawang : Sepertinya aku sudah punya
alasan buatmu Rakdak!!
Rakdak : Kamu ingin membunuhku…
Tawang : Bisa saja…
Rakdak : Akhirnya aku sudah punya
nyawa untuk jalan anakku lahir.
Nuru : Sudah, hentikan semua ini!!
Rakdak : Kau bersamaku Andi?
Tawang : Nuru.
Nuru : Aku tak pernah mengatakan
akan memihak siapa diantara kalian, pun kalian bisa saja menyingkirkan aku dan
bayi ini. Dan aku tak sekejam itu untuk melihat salah satu diantara kalian
saling membunuh, sebagai sebuah jalan untuk anakku ini lahir. Ingat Rakdak kau
suamiku, Tawang kau adikku, bukankah kalian sudah menjadi saudara juga.
Rakdak : (Histeris),
pemberian Takdir apa semacam ini!!
Nuru : Ambo, Indo, Daeng, Tawang,
Aku dan juga Bayi ini, sebenarnya sudah masuk dalam lingkaran takdir. Setelah
kematian Ambo, di luar sana masih ada 6 orang yang dipermainkan oleh takdir
seperti ini juga.
Nuru : 2 orang, sepasang Suami
Isteri tua, yang belum mempuyai keturunan. Pundeng dan Nanna.
Rakdak : 3 orang, Rannu, bayinya,
dan juga suaminya Kama.
Tawang : 1 lagi… Pammase… calon
isteriku….
Rakdak : Sepertinya tak ada jalan
lain…
Nuru : Untuk tetap memperpanjang
umur kita.
Rakdak : Kita harus membunuh mereka…
Nuru : Cukup adil sebenarnya, tanpa
harus saling menyakiti diantara kita. Kalaupun kita tidak berhasil membunuh
mereka, malah sebaliknya kita yang terbunuh, tapi setidaknya peluang yang lain
untuk tetap hidup akan tetap terjaga.
Tawang : Semuanya??
Rakdak : Iya.
Tawang : Kenapa?
Rakdak : Dengan mengorbankan lebih banyak
nyawa setidaknya mengurangi peluang sampainya kita nanti pada jumlah Sembilan.
Nuru : Dan itu akan membuat kita
lebih lama hidup.
Tawang : Aku menolak!!
Kalian termakan habis dengan pikiran
kalian sendiri, mencoba mengatur sebuah alur duniawi…
Rakdak : Karena alasan calon
isterimu itu?
Tawang : Kita tak akan pernah bisa
memberikan nasib kepada orang lain.
Nuru : Tawang, kalau kamu berfikiran
seperti itu, sama halnya mendekatkan dirimu dengan kematian. Kami berdua.
Rakdak : Kau bersamaku Andi?
Nuru : Iya Daeng.
Tawang…, membunuhmu sekarang juga
tak memberikan efek yang terlalu kepada kami, hanya sampai anak kami lahir,
setelah itu masih ada aku dan suamiku.
Rakdak : Berumur panjang jugalah
Tawang.
(Hening)
Tawang : Aku bersikap dengan
ketahanan pikiran untuk mempercayai segala hal yang telah mengatur kita,
semuanya. Aku tak menyangka kabar yang kubawa seketika meruntuhkan segala
kepercayaaanku. Kalian membawaku.
Nuru : Kamu setuju?
Tawang : Tapi biarkan aku sendiri
yang memilih korbanku.
Nuru : iya.
Rakdak : Kamu memilih siapa?
Tawang : Aku memilih Rabasiah.
Nuru : Daeng?
Rakdak : Biarkan aku memilih
keluarga Nuru, sekalian membunuh bayi itu.
Nuru : Suami Isteri yang renta…
Rakdak : Akan ada nyawa yang hilang,
entah itu mereka atau kita.
Nuru : Setidaknya akan memperpanjang
umur.
Rakdak : Setelah membunuh kita
berjanji akan berkumpul di sini kembali. Untuk mengetahui keadaan nasib
masing-masing.
Tawang : Baiklah, aku pergi…
(keluar Tawang)
Nuru : Tawang..
(Nuru menghampiri. Tawang berbalik,
kemudian keluar tanpa mengindahkan)
Rakdak : Kita tidak bersama-sama
saja melakukannya Andi?
Nuru : Sepertinya mereka belum
menyadari kalau aku ini sedang hamil, pergi bersama-sama pasti akan menimbulkan
kecurigaan.
Rakdak : Kalau begitu aku sendiri
yang menyelesaikannya, Andi di rumah saja menunggu.
Nuru : Tidak, lebih cepat lebih baik
Daeng. Mereka tak akan mengetahui maksud kedatangan kita…
Rakdak : Tapi..
Nuru : Itulah yang menjadi peluang
kita sebenarnya.
Rakdak : Tapi…
Nuru : Jangan khawatir Daeng.
Rakdak : Andi yakin?
Nuru : Iya Daeng…
Rakdak : Jaga dirimu Andi…
(Nuru Pergi tak mengindahkan)
Rakdak : Andi…
(Nuru terhenti)
Rakdak : Bawa ini…
(Memberikan badik, keraguan
menghampiri Nuru. Hening sampai Rakdak meyakinkannya dengan meletakkan badik
tersebut di atas kursi)
(Nuru mengambil badik)
Rakdak : Kita hanya punya satu
nyawa…
(Nuru Pergi)
(Fade Out)
.jpg)
0 komentar:
Posting Komentar